Dikutip dari tirto.id, Ekonomi Indonesia sedang berada dalam puncaknya di pengujung 1996. Hampir semua indikator kemakmuran terpenuhi: Pertumbuhan ekonomi mengesankan, inflasi terkendali, investasi mengalir deras, ekspor tumbuh pesat, kemiskinan berkurang, dan cadangan devisa terus meningkat. Puja-puji terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalir, termasuk dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia.
Memasuki 1997, ekonomi Indonesia masih terlihat baik-baik
saja. Tanda-tanda gelembung ekonomi memang sudah mulai terendus, tapi semua
tertutupi oleh capaian angka makro ekonomi yang baik. Apalagi aliran modal
masih mengucur deras ke Indonesia.
Indikator makro ekonomi memang tidak menunjukkan tanda
kekurangan. Hanya tingkat inflasi yang menjadi perhatian, tetapi itu dianggap
sebagai efek dari pertumbuhan ekonomi tinggi. Di pasar modal, Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) justru terus berada dalam tren meningkat. Jika pada akhir
1995 di level 514, pada Juli 1997 berada di level 720.
Tingkat kemiskinan juga turun tajam. Di awal pemerintahan
Soeharto, tingkat kemiskinan mencapai 60%. Tiga puluh tahun kemudian, pada
1996, tingkat kemiskinan sudah berhasil ditekan menjadi 11% dan Indonesia
sedang bersiap menyambut zaman baru yang dinamakan 'Era Tinggal Landas'. Semua
itu kemudian terguncang dalam waktu satu malam.
Pada Juli 1997 Thailand dilanda krisis. Mata uang baht
tiba-tiba anjlok. Sebelumnya, selama 25 tahun, Thailand mematok mata uangnya
sebesar 25 baht per dolar AS. Memasuki 1996, defisit neraca berjalan Thailand
meroket. Baht dinilai sudah overvalued. Pemerintah Thailand pun melakukan
devaluasi baht pada 2 Juli 1997 dan langsung memicu aksi spekulasi besar-besaran.
Pemerintah Thailand berupaya mempertahankan pematokan mata
uang dengan melakukan intervensi membeli baht, namun upaya ini tak berhasil.
Thailand kemudian menurunkan pematokan mata uang dan mengenalkan sistem
mengambang. Baht langsung anjlok terhadap dolar.
Krisis di Thailand merembet ke negara-negara tetangga,
termasuk Indonesia. Thee Kian Wie dalam The Emergence of A National Economy
(2002: 236) menyebutkan negara-negara Asia Tenggara menjadi sasaran spekulan
internasional. Ada dua hal yang memicu yakni pematokan mata uang yang dianggap
sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini dan terjadinya “gelembung ekonomi”.
Serangan para spekulan membuat mata uang di Asia Tenggara semakin jatuh.
Pada 11 Juli Filipina akhirnya mengambangkan peso untuk
mengatasi kejatuhan mata uangnya. Sementara Indonesia baru sebatas memperlebar
range pergerakan rupiah dari 8% menjadi 12%. Setelah kisaran pergerakan rupiah
diperlebar, mata uang ini malah anjlok hingga 7%. Ketidakstabilan mata uang di
kawasan Asia Tenggara membuat para manajer keuangan internasional menarik dana
mereka. Rupiah makin terpuruk. Pada 14 Agustus 1997 Indonesia akhirnya
memutuskan untuk mengambangkan mata uangnya.
Meskipun kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda
mengkhawatirkan, para investor asing awalnya tetap percaya pada kemampuan para
teknokrat Indonesia untuk bertahan dalam badai krisis keuangan (seperti yang
pernah mereka lakukan sebelumnya pada tahun 1970-an dan 1980-an). Tetapi kali
ini tidak dapat lepas dari krisis finansial dengan mudah. Indonesia menjadi
negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak terhadap
ekonomi tetapi juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap sistem politik
dan keadaan sosial di Indonesia.
Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah diputuskan untuk diambangkan bebas (float freely) pada bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi depresiasi yang sangat signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah hanya 30 persen dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997. Pada tahun-tahun sebelum tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged) dalam mata uang dolar Amerika, dan utang sektor swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak.
Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi
secara drastis. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar
sehingga menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk
situasi utang yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya
diketahui sangat lemah sekali) akan menderita kerugian yang amat besar.
Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk
perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena
tidak mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk
mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan
Oktober 1997.
IMF Datang tapi Kekacauan
masih tetap Berlangsung
IMF tiba di Indonesia dengan paket bailout sebesar USD $43
milyar untuk memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah Indonesia. Sebagai
imbalannya IMF menuntut beberapa langkah reformasi keuangan yang mendasar:
penutupan 16 bank swasta, penurunan subsidi pangan dan energi, dan menyarankan
agar Bank Indonesia untuk menaikkan iklim suku bunga. Akan tetapi paket
reformasi ini ternyata gagal. Penutupan 16 bank (beberapa diantaranya
dikendalikan oleh kroni Presiden Suharto) memicu penarikan dana besar-besaran
pada bank-bank lain. Milyaran rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi
kemampuan bank untuk memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk
memberikan kredit dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk
mencegah krisis perbankan yang semakin parah.
Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem
patronase yang dimiliki Suharto dan yang merusak perekonomian negara dan juga
merusak program IMF. Sistem patronase ini adalah alat yang dijalankan oleh
Suharto untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan
keuangan dia memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh
(sehingga menjadi kroni). Perkembangan lain yang berdampak negatif terhadap
Indonesia menjelang akhir tahun 1997 adalah kekeringan parah yang disebabkan
oleh El Nino (sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan hasil panen yang buruk)
dan peningkatan spekulasi tentang memburuknya kesehatan Suharto (sehingga
menyebabkan adanya ketidakpastian politik). Maka, secara bertahap, Indonesia
sedang menuju terjadinya krisis politik.
Kesepakatan kedua dengan IMF diperlukan karena ekonomi masih
tetap saja memburuk. Pada bulan Januari 1998 rupiah kehilangan setengah
nilainya hanya dalam rentang waktu lima hari saja dan ini menyebabkan
masyarakat berusaha menimbun makanan. Kesepakatan kedua dengan IMF ini berisi
50 pokok program reformasi, termasuk pemberian jaring pengaman sosial,
penghapusan secara perlahan subsidi-subsidi tertentu untuk masyarakat dan
menghentikan sistem patronase Suharto dengan cara mengakhiri monopoli yang dijalankan
oleh sejumlah kroninya.
Namun, keengganan Suharto untuk melaksanakan program
reformasi struktural ini dengan patuh justru menambah buruk situasinya. Di sisi
lain IMF dikritik karena dinilai terlalu memaksakan banyak program reformasi
dalam waktu yang terlalu singkat sehingga memperburuk keadaan perekonomian
Indonesia. IMF memang membuat kesalahan pada saat melakukan pendekatan awal
dalam krisis Indonesia namun lembaga ini akhirnya menjadi sadar bahwa kunci
utama untuk mengatasi krisis adalah untuk memulai kembali aliran modal swasta
ke Indonesia. Agar hal ini terwujud maka sistem patronase harus dipecah.
Krisis Mencapai
Puncaknya
Sementara itu, kekuatan-kekuatan sosial juga sedang bekerja.
Aksi demonstrasi dan kritik yang ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin
meningkat setelah ia terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet
baru pada bulan Maret 1998. Kabinet baru yang provokatif ini berisi sejumlah
anggota yang berasal dari kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu
berbuat banyak untuk memulihkan kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah
pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei,
kerusuhan berskala besar terjadi di Medan, Jakarta dan Solo. Meskipun IMF telah
memberikan waktu kepada Suharto sampai dengan Oktober untuk mengurangi subsidi
secara bertahap, ia memutuskan untuk melakukan semuanya sekaligus, mungkin
karena terlalu meremehkan dampaknya atau terlalu percaya diri dengan
kekuasaannya sendiri.
Ketegangan mencapai puncaknya setelah empat orang mahasiswa
Indonesia tewas waktu melakukan demonstrasi di sebuah universitas lokal di
Jakarta. Diduga penembakan tersebut dilakukan oleh pasukan tentara khusus
('tragedi Trisakti'). Beberapa hari berikutnya Jakarta dilanda kerusuhan sangat
buruk. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, etnis Tionghoa - yang sudah lama
dibenci karena dianggap kaya - banyak menjadi sasaran dalam kerusuhan ini.
Toko-toko dan rumah-rumah milik warga Tionghoa dibakar dan banyak perempuan
China diperkosa secara brutal. Setelah kerusuhan redam, lebih dari seribu orang
tewas dan ribuan bangunan hancur. Pada tanggal 14 Mei 1998 Soeharto
mengundurkan diri dari kursi kepresidenan ketika semua politisi menolak untuk
bergabung dengan sebuah kabinet baru yang dibentuknya. Krisis finansial telah
sepenuhnya berubah menjadi krisi sosial dan politik.
Sistem Politik Baru
dan Awal Pemulihan
Bacharuddin Jusuf Habibie, wakil presiden dalam kabinet
terakhir Suharto maka - berdasarkan hukum - menggantikan Suharto sebagai
presiden Indonesia berikutnya, beralih kepada sosok teknokrat ekonomi untuk
mengatasi krisis finansial yang sedang berlangsung. Hal ini mengakibatkan
dibuatnya perjanjian keempat dengan IMF. Perjanjian ini ditandatangani pada bulan
Juni 1998 dan memungkinkan terjadinya defisit anggaran yang lebih longgar
sementara dana baru dialirkan ke dalam perekonomian.
Dalam jangka waktu beberapa bulan ada beberapa tanda
pemulihan. Nilai tukar rupiah mulai menguat sejak pertengahan Juni 1998 (waktu
terjun bebas ke angka Rp 16,000 per US dolar) menjadi Rp 8,000 per US dolar
pada bulan Oktober 1998, inflasi membaik secara drastis, saham-saham di Bursa
Efek Indonesia mulai bangkit dan ekspor non-migas mulai hidup kembali menjelang
akhir tahun. Sektor perbankan (pusat dari krisis ini) masih rapuh karena adanya
jumlah kredit bermasalah yang sangat tinggi dan bank-bank masih tetap sangat
ragu-ragu untuk meminjamkan uang. Selain itu, sektor perbankan telah
menyebabkan peningkatan utang pemerintah secara tajam dan utang-utang ini
terutama disebabkan oleh penerbitan obligasi untuk restrukturisasi perbankan.
Namun demikian, meskipun rapuh, perekonomian Indonesia mulai membaik secara
bertahap selama tahun 1999, sebagian disebabkan oleh membaiknya lingkungan internasional
yang menyebabkan kenaikan pendapatan ekspor.
Sumber :
https://tirto.id/f6YV
https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-asia/item246?
https://www.bmeb-bi.org/index.php/BEMP/article/view/183