Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di sebuah rumah hibah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat
Kemerdekaan Indonesia merupakan langkah awal bagi bangsa Indonesia untuk membangun Negara kesatuan yang makmur adil dan sejahtera sesuai dengan cita cita UUD 1945, pada awal kemerdekaan, Indonesia masih belum lepas dari pengaruh pemerintah Kolonial mulai dari politik hingga ekonomi bahkan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya blanda masih melakukan agresi militer untuk memperjuangkan kembali kekuasaanya, oleh karna itu sejarah ekonomi indonesia tak luput dari pengaruh agresi militer blanda ke Indonesia
Nah berikut ini akan kami bahas tentang sejarah mata uang Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, apakah setelah Indonesia merdeka uang yang digunakan masyarakat adalah mata Uang asli Indonesia? Apakah Mata Uang Indonesia dapat langsung di terima secara Internasional? Berikut ini adalah pembahasan mengenai hal hal tersebut
1. Mata Uang Gulden
Setelah Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, salah satu kesulitan yang segera menyergap pemerintah republik ini adalah bagaimana membayar gaji pegawai negeri serta menyediakan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Muara dari persoalan ini adalah tingginya tingkat inflasi.
Selama pendudukan Jepang, harga beras di pasar gelap meningkat hingga lebih dari 200 persen pada 1944 dan lebih dari 600 persen setahun kemudian. Semua ini disebabkan oleh begitu besarnya kepemilikan mata uang gulden yang diterbitkan pemerintah pendudukan Jepang (selanjutnya disebut gulden jepang).
Setelah uang-uang itu habis, pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia memerintahkan kantor Nanyo Kaihatsu Ginko di Indonesia untuk mencetak lebih banyak uang dalam bentuk rupiah. Pemerintah pendudukan Jepang tidak melarang penggunanaan gulden kolonial (pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal dengan rupiah).
Mata uang ini berlaku sampai April 1942 dan dikeluarkan oleh Javasche Bank (selanjutnya disebut Bank Jawa). Akan tetapi, masyarakat Tanah Air enggan menerima mata uang pendudukan Jepang.
Sebab, tak banyak yang bisa dibeli di pasar dengan uang tersebut. Maka, mereka terus menggunakan gulden kolonial kapan pun di mana pun.
Pada awal pendudukan Jepang, sekitar 600 juta gulden kolonial beredar sebagai uang tunai pada perekonomian Indonesia. Pada Agustus 1945, jumlah tersebut bertambah 1,7 miliar gulden/rupiah dalam peredaran mata uang. Namun, masyarakat lebih percaya pada gulden kolonial. Satu gulden kolonial bernilai 10 gulden jepang/rupiah.
Setelah 17 Agustus 1945, pemerintah RI meminjam lebih banyak rupiah dari kantor Nanyo Kaihatsu Ginko di Indonesia. Pada akhir 1945, jumlah gulden Jepang/rupiah yang disirkulasikan meningkat menjadi 2,3 miliar. Lebih banyak uang pendudukan yang beredar membuat nilainya menurun dibandingkan gulden kolonial. Pada November 1945, pemerintah RI berencana menerbitkan mata uang sendiri.
2. Mata Uang ORI
PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (selanjutnya disebut “BNI” atau “Bank”) pada awalnya didirikan di Indonesia sebagai Bank sentral dengan nama “Bank Negara Indonesia” berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946. Bank yang diresmikan di Yogyakarta ini, berfungsi sebagai penanggung jawab penerbitan dan pengelolaan mata uang Indonesia pertama kali yakni Oeang Republik Indonesia atau ORI. ORI ditetapkan sebagai alat pembayaran resmi pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia pada tanggal 30 Oktober 1946 dicetak dan diedarkan oleh BNI.
Untuk mengatasi kekurangan uang tunai akibat terputusnya komunikasi antara pusat dan daerah setelah Agresi Militer Belanda, pemerintah pusat memberi mandat kepada para pemimpin daerah untuk menerbitkan mata uang lokal, ORI-Daerah, yang berlaku sementara di daerah masing-masing. Sejak 1947, ORI-Daerah atau ORIDA ini terbit antara lain di Provinsi Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh
3. Mata Uang RIS
Pada tanggal 2 November 1949, persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) berhasil ditandatangani. Isi dari KMB adalah Blanda dan Indonesa sepakat bahwa Negara Republik Indonesia berubah menjadi bentuk Serikat yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS),
Pada 1 Mei 1950, Pemerintahan RIS menarik ORI dan ORIDA dari peredaran, menggantinya dengan mata uang RIS yang telah berlaku sejak 1 Januari 1950. Pada Maret 1950, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan penyehatan keuangan yang dikenal sebagai ‘Gunting Sjafruddin’ dengan menggunting uang kertas De Javasche Bank dan Hindia Belanda pecahan di atas f2,50. Lembar guntingan bagian kiri tetap berlaku sebagai uang dengan nilai separuhnya. Sementara itu bagian kanan dapat ditukar dengan surat pinjaman Obligasi RI 1950. Pada Agustus 1950, bentuk Negara Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan uang RIS tidak berlaku lagi.
4. Mata Uang Rupiah
Setelah Mata Uang RIS tidak berlaku lagi sebagai pengganti pemerintah Bank Indonesia mengganti mata Uang menjadi Rupiah, Berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia memiliki wewenang untuk menerbitkan dan mengedarkan uang pecahan lima Rupiah ke atas. Untuk uang kertas pecahan di bawah lima Rupiah dan uang logam masih merupakan kewenangan Pemerintah Indonesia. Dengan Undang-Undang No.13/1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas dan uang logam. Kewenangan ini tercantum juga dalam Undang-Undang No.23/1999 tentang Bank Indonesia yang diamandemen dengan Undang-Undang No.3/2004 tanggal 15 Januari 2004.